Umar bin Khattab ra terkenal sebagai orang yang berwatak keras dan
bertubuh tegap. Sering kali pada awalnya (sebelum masuk Islam) kaum
muslimin mendapatkan perlakukan kasar darinya. Sebenarnya di dalam hati
Umar sering berkecamuk perasaan-perasaan yang berlawanan, antara
pengagungannya terhadap ajaran nenek moyang, kesenangan terhadap hiburan
dan mabuk-mabukan dengan kekagumannya terhadap ketabahan kaum muslimin
serta bisikan hatinya bahwa boleh jadi apa yang dibawa oleh Islam itu
lebih mulia dan lebih baik.
Sampailah kemudian suatu hari, beliau berjalan dengan pedang terhunus
untuk segera menghabisi Rasulullah SAW. Namun di tengah jalan, beliau
dihadang oleh Abdullah an-Nahham al-‘Adawi seraya bertanya:
“Hendak kemana engkau ya Umar ?”,
“Aku hendak membunuh Muhammad”, jawabnya.
“Apakah engkau akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhroh jika engkau membunuh Muhammad ?”,
“Jangan-jangan engkau sudah murtad dan meninggalkan agama asal-mu?”. Tanya Umar.
“Maukah engkau ku tunjukkan yang lebih mengagetkan dari itu wahai Umar, sesungguhnya saudara perempuanmu dan iparmu telah murtad dan telah meninggalkan agamamu”, kata Abdullah.
“Aku hendak membunuh Muhammad”, jawabnya.
“Apakah engkau akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhroh jika engkau membunuh Muhammad ?”,
“Jangan-jangan engkau sudah murtad dan meninggalkan agama asal-mu?”. Tanya Umar.
“Maukah engkau ku tunjukkan yang lebih mengagetkan dari itu wahai Umar, sesungguhnya saudara perempuanmu dan iparmu telah murtad dan telah meninggalkan agamamu”, kata Abdullah.
Setelah mendengar hal tersebut, Umar langsung menuju ke rumah
adiknya. Saat itu di dalam rumah tersebut terdapat Khabbab bin Art yang
sedang mengajarkan al-Quran kepada keduanya (Fatimah, saudara perempuan
Umar dan suaminya). Namun ketika Khabbab merasakan kedatangan Umar, dia
segera bersembunyi di balik rumah. Sementara Fatimah, segera menutupi
lembaran al-Quran.
Sebelum masuk rumah, rupanya Umar telah mendengar bacaan Khabbab, lalu dia bertanya :
“Suara apakah yang tadi saya dengar dari kalian?”,
“Tidak ada suara apa-apa kecuali obrolan kami berdua saja”, jawab mereka
“Pasti kalian telah murtad”, kata Umar dengan geram
“Wahai Umar, bagaimana pendapatmu jika kebenaran bukan berada pada agamamu ?”, jawab ipar Umar.
“Tidak ada suara apa-apa kecuali obrolan kami berdua saja”, jawab mereka
“Pasti kalian telah murtad”, kata Umar dengan geram
“Wahai Umar, bagaimana pendapatmu jika kebenaran bukan berada pada agamamu ?”, jawab ipar Umar.
Mendengar jawaban tersebut, Umar langsung menendangnya dengan keras
hingga jatuh dan berdarah. Fatimah segera memba-ngunkan suaminya yang
berlumuran darah, namun Fatimah pun ditampar dengan keras hingga
wajahnya berdarah, maka berkata-lah Fatimah kepada Umar dengan penuh
amarah:
“Wahai Umar, jika kebenaran bukan terdapat pada agamamu, maka aku
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan
aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah”
Melihat keadaan saudara perempuannya dalam keadaan ber-darah, timbul
penyesalan dan rasa malu di hati Umar. Lalu dia meminta lembaran
al-Quran tersebut. Namun Fatimah menolaknya seraya mengatakan bahwa Umar
najis, dan al-Quran tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang
telah bersuci. Fatimah memerintahkan Umar untuk mandi jika ingin
menyentuh mushaf tersebut dan Umar pun menurutinya.
Setelah mandi, Umar membaca lembaran tersebut, lalu membaca :
Bismillahirrahmanirrahim. Kemudian dia berkomentar: “Ini adalah
nama-nama yang indah nan suci”
Kemudian beliau terus membaca :
طه
Hingga ayat :
طه
Hingga ayat :
إنني أنا الله لا إله إلا أنا فاعبدني وأقم الصلاة لذكري
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”
(QS. Thaha : 14)
Beliau berkata :
(QS. Thaha : 14)
Beliau berkata :
“Betapa indah dan mulianya ucapan ini. Tunjukkan padaku di mana Muhammad”.
Mendengar ucapan tersebut, Khabab bin Art keluar dari balik rumah,
seraya berkata: “Bergembiralah wahai Umar, saya berharap bahwa doa
Rasulullah SAW pada malam Kamis lalu adalah untukmu, beliau SAW berdoa :
“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang yang
lebih Engkau cintai; Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam”.
Rasulullah SAW sekarang berada di sebuah rumah di kaki bukit Shafa”.
Umar bergegas menuju rumah tersebut seraya membawa pedangnya. Tiba di
sana dia mengetuk pintu. Seseorang yang ber-ada di dalamnya, berupaya
mengintipnya lewat celah pintu, dilihatnya Umar bin Khattab datang
dengan garang bersama pedangnya. Segera dia beritahu Rasulullah SAW, dan
merekapun berkumpul. Hamzah bertanya:
“Ada apa ?”.
“Umar” Jawab mereka.
“Umar ?!, bukakan pintu untuknya, jika dia datang membawa kebaikan, kita sambut. Tapi jika dia datang membawa keburukan, kita bunuh dia dengan pedangnya sendiri”.
“Umar” Jawab mereka.
“Umar ?!, bukakan pintu untuknya, jika dia datang membawa kebaikan, kita sambut. Tapi jika dia datang membawa keburukan, kita bunuh dia dengan pedangnya sendiri”.
Rasulullah SAW memberi isyarat agar Hamzah menemui Umar. Lalu Hamzah
segera menemui Umar, dan membawanya menemui Rasulullah SAW. Kemudian
Rasulullah SAW memegang baju dan gagang pedangnya, lalu ditariknya
dengan keras, seraya berkata :
“Engkau wahai Umar, akankah engkau terus begini hingga kehinaan dan
adzab Allah diturunakan kepadamu sebagaimana yang dialami oleh Walid bin
Mughirah ?, Ya Allah inilah Umar bin Khattab, Ya Allah, kokohkanlah
Islam dengan Umar bin Khattab”.
Maka berkatalah Umar :
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah, dan Engkau adalah Rasulullah .
Kesaksian Umar tersebut disambut gema takbir oleh orang-orang yang berada di dalam rumah saat itu, hingga suaranya terdengar ke Masjidil-Haram.
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah, dan Engkau adalah Rasulullah .
Kesaksian Umar tersebut disambut gema takbir oleh orang-orang yang berada di dalam rumah saat itu, hingga suaranya terdengar ke Masjidil-Haram.
Masuk Islamnya Umar menimbulkan kegemparan di kalangan orang-orang musyrik, sebaliknya disambut suka cita oleh kaum muslimin.